Kamis, 26 November 2015

Tentang Mendidik - Lebih baik dihukum daripada di bantu!

LEBIH BAIK DIHUKUM DARIPADA DIBANTU!

Hari Rabu lalu adalah hari guru, tanpa direncanakan sama sekali, saya mendidik puteri saya dengan didikan terkeras yang pernah saya lakukan pada hari itu, dan pernah dialami ketiga anak saya: yakni mengabaikan permintaan untuk mengantarkan  sebuah barang ke sekolah.

Setiap pagi seperti biasa saya mengantarkan puteri saya ke sekolah. Tadi pagi, begitu dia sudah sampai sekolah,  puteri saya menelpon mamanya, mengabarkan bahwa baju ganti untuk sebuah kegiatan ekskulnya ketinggalan. Awalnya, saya dan istri berpikir bahwa dia ketinggalan baju itu (sudah dalam tas khusus) di dalam kamarnya. Ternyata tas yang berisi baju ganti itu ada di dalam mobil saya, dan berada persis di bagian kaki tempat duduknya tadi!

Anak saya memohon agar papa mengantarkan baju itu karena dia ada pengambilan nilai untuk ekskul yang dia ikuti – karena tas yang ketinggalan berisi kostum untuk pengambilan nilai itu. Istri saya menjelaskan pentingnya nilai itu dan ingin saya agar segera kembali untuk mengantarkan ke sekolah anak kami.

Tetapi setelah menimbang-nimbang untung ruginya, saya memutuskan untuk tidak mengantar baju itu ke sekolah, karena baju itu ketinggalan di mobil tersebab keteledoran anak saya sendiri, sehingga dia harus merasakan konsekuensi dari keteledorannya.

“Bagaimana kalau nilai ekskulnya jelek karena pakaian ini tidak diantar?” ujar istri saya mencoba mengubah keadaan. Saya bergeming dengan keputusan, “Tidak apa-apa sesekali dia tidak mendapatkan nilai akibat keteledorannya, sehingga besok-besok dia harus lebih seksama terhadap semua kebutuhan sekolahnya.”

Bagi saya, mendidik anak bukan hanya memuji bila mereka berhasil mencapai prestasi yang mereka inginkan, tetapi juga untuk tidak  selalu ‘mengerti  dan memaafkan’ keteledoran anak, sebagai bagian dari membuat tanggung jawabnya lebih matang.

Ketika sikap ini saya sampaikan via telpon saat putri kami menelepon kembali agar pakaiannya segera diantarkan, jawaban saya membuat dia tercenung dan berulang kali bilang, “Maaf ya, Pa.”

Saya jawab ,”Kamu tidak perlu minta maaf sama papa, tapi kamu harus minta maaf pada guru ekskul yang hari ini kamu ikuti ujiannya. Kalau guru kamu membolehkan kamu ikut ujian tanpa kostum yang sesuai, alhamdulillah. Tetapi kalau guru kamu tidak mengizinkan kamu ikut, maka gurumu tidak salah. Kamu akan belajar supaya besok lebih hati-hati untuk tidak ketinggalan sesuatu yang sudah kamu bawa sendiri sebenarnya.”

Dia terdiam, dan kemudian minta izin agar telepon dimatikan.

Anak saya pasti sedih sekali hari itu. Tetapi dia akan belajar sesuatu yang sangat besar dari kesedihannya, bahwa pendidikan tidak hanya menyangkut menuai pujian demi pujian, tetapi juga menyadari bahwa tindakan keras yang saya lakukan adalah karena saya cinta sekali kepadanya, sehingga ingin dia tumbuh sebagai anak yang tidak selalu “disuapi” setiap saat, setiap waktu. Kecuali di saat-saat darurat di mana masalah terjadi di luar jangkauannya.

Mungkin hari itu dia tidak dapat nilai ekskul, tapi  dia jelas akan mendapatkan sesuatu yang LEBIH BESAR dari sekedar angka belaka.

Selamat mendidik.


Happy Selling!

Minggu, 22 November 2015

BUKALAH PIKIRANMU - Minds are like a parachutes they work best when open

MINDS ARE LIKE A PARACHUTES; THEY WORKS BEST WHEN OPEN!

Diterjemahkan ke dalam bahasa : Pikiran adalah seperti parasut dia akan bekerja dengan baik ketika pikiran itu membuka dirinya. Apakah anda setuju dengan quote diatas? Apakah anda seorang yang perfeksionis?. Eh, tunggu dulu jangan cepat-cepat jawabnya. Apa hubungannya pikiran yang terbuka (open mind) dengan perfeksionis? Nanti saya ceritakan  hubungannya dibawah dalam tulisan ini. Sebelumnya sebagai pengetahuan bersama bahwa manusia terdiri dari jasad dan roh. Jasad adalah tubuh yang bisa kita pegang kita rasakan dan kita cium. Sedangkan roh adalah sesuatu yang tidak bisa kita pegang (intangible) tapi bisa kita rasakan dengan hati kita. Oke sampai disini saja ngomong jasad dan rohnya karena saya tidak mau bahas lebih mendalam dan bukan bidang saya juga.

Yang mau saya bahas adalah pikiran. Pikiran adalah hasil kerja dari otak. Pikiran adalah apa yang kita pikir atau apa yang sedang kita rencanakan dalam otak kita untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Biasanya pikiran dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, pendidikan, budaya dan nilai-nilai yang kita peroleh sejak dari kecil hingga dewasa seperti sekarang ini.  Pikiran yang menggerakkan anggota tubuh kita dan pikiran yang mendorong kita untuk bicara dan bertindak. Kita akan leluasa berpikir dan berbicara sesuatu hal kalau kita pernah mengalami kejadiannya atau kita sudah pernah berbuat. Apalagi pengetahuan tentang informasi yang didapat mendukung. Karena bertambahnya usia dan pengalaman hidup seharusnya kita tidak takut menghadapi masalah kehidupan yang ada. Manusia selalu mempunyai masalah (problem) dan masalah akan diselesaikan hanya dengan cara kita berpikir yang jernih. Nah, pikiran yang jernih hanya didapat jika kita bersikap tenang, tidak emosi dan open mind. Teorinya sih gampang begitu tapi sering kali pikiran kita tercampur aduk dengan emosi, ego mau menang sendiri dan tidak mau mendengar. Sehingga dalam berpikir memecahkan sesuatu pengennya cepat selesai eh malah menjadi tambah kacau. Tidak terjadi win-win solution. Perlu diingat cara berpikir dan memecahkan masalah pribadi dengan masalah kerjaan adalah tidak sama (atau sama ya? He-he). Kalau masalah pribadi apakah masalah dengan pasangan, orang tua, anak, teman main dan saudara kita umumnya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Kalau masalah kerjaan berbeda, bedanya di tempat kerja apa yang kita mau belum tentu sama dengan apa yang perusahaan mau. Karena perusahaan tentunya mempunyai aturan-aturan baik tertulis berupa  S.O.P, KDPO, S.E dan aturan tidak tertulis yaitu berupa etika dan moral. Apakah jika terjadi masalah di perusahaan bisa diselesaikan secara kekeluargaan? Bisa ya bisa tidak tetapi harus dipenuhi dahulu aturan yang ada diperusahaan tersebut, bukan!.

Ups..sorry agak ngelantur tentang masalah demi masalah. Yang saya mau jelaskan dalam paragraf pertama diatas, hubungan antara open mind dengan perfeksionis adalah sebagai berikut: Dalam cara berpikir seorang yang perpeksionis (merasa sempurna dalam segala hal) karena pengetahuan, pengalaman dan pendidikan yang tinggi orang perfeksionis ini umumnya tidak mau mendengar saran dan kritik orang lain sehingga menutup setiap informasi yang tidak diperoleh dari luar pengetahuannya. Ia menjadi kaku, keras atau keukeuh dalam berpendirian. Sikap seperti ini umumnya ada dalam diri perfeksionis. Karena orang perfeksionis merasa dirinya benar. Pikirannya menutup atas informasi dari luar. Disinilah saya merasa sedih, karena saya dahulu menjadi seorang perfeksionis seperti ini. Dan pada titik itulah saya jatuh. Saya tidak mau mendengar kritikan dan inputan karena merasa sayalah yang paling benar. Dan saya membahayakan diri saya sendiri.  Saya tidak “open mind” sehingga pikiran tidak berjalan dengan baik. Betul kata teman saya yang memberi  quote diatas “pikiran hanya bekerja saat dibuka”. Untungnya saya cepat sadar. Maka jadilah Perfeksionis yang open mind.

Coba bayangkan anda mengikuti suatu training tetapi omongan dan ilmu yang diajarkan oleh guru anda tidak didengarkan. Otak anda yang membuat pikiran tidak dibuka. Tentu pastinya berapapun training yang anda ikuti, siapapun guru yang mengajar dan berapapun ilmu yang diberikan niscaya tidak akan kita peroleh. Sayang sekali bukan!

Anyhow, parasut kalau tidak dibuka tidak ada gunanya so bukalah pikiran kita untuk menerima informasi apapun yang bermanfaat bagi karir kita.


Happy Selling!

TAIKO - Membuat Burung Berkicau!

BAGAIMANA MEMBUAT SEEKOR BURUNG BERKICAU!

Pertanyaannya:
“Bagaimana jika seekor burung tak mau berkicau?”.
Nobunaga menjawab: “Bunuh saja!”.
Ieyasu menjawab: “Tunggu”.
Hideyoshi menjawab: “Buat burung itu ingin berkicau”.

Oda Nobunaga, Tokugawa Ieyasu, Hideyoshi Nokotomi adalah tiga tokoh penting yang menjadi legenda negeri Jepang karena mereka adalah yang mempersatukan Jepang setelah Jepang porak poranda akibat perang saudara setelah Ke Shogunan Jepang runtuh. Tiga tokoh dengan tiga Karakter yang berbeda-beda inilah yang mempunyai keinginan yang sama untuk menyatukan Jepang dan membuat Jepang kuat hingga sekarang. Cerita negeri Jepang ini adalah kisah nyata terjadi di tahun 1500 an dan ternukil dalam buku novel yang berjudul “TAIKO” karya Eiji Yoshikawa yang juga penulis Musashi. Novel ini sendiri saya baca saat masih SMA dahulu (artinya sekitar 20-an tahun yang lalu! sudah lama juga ya he-he, bukunya mempunyai tebal 1143 halaman). Butuh waktu dua minggu membacanya. Cerita ini masih terngiang dan tersimpan dalam memori saya karena plot cerita yang kuat dan karakterisasi yang tergali dengan baik membuat saya betah membaca dari awal sampai akhir tanpa jeda.

Kembali kepada cerita ini, Nobunaga digambarkan adalah seorang panglima perang, ketua marga dan pemimpin yang dihormati. Ia sangat keras dan sikapnya tidak pernah tedeng aling-aling, kejam tak mengenal kompromi baik kepada musuh maupun pengikutnya. Jika pengikutnya melakukan sedikit kesalahan maka ia tak segan segan untuk menghukumnya hingga sampai “seppuku” (bunuh diri ala Jepang) jika perlu diminta dilakukan kepada pengikutnya. Sementara Ieyasu digambarkan adalah seorang priyayi bertubuh agak tambun dan bermuka tenang.  Ia merupakan pemimpin yang sangat sabar dan penuh pemikiran sebelum bertindak.  Sedangkan Hideyoshi digambarkan berwajah seperti monyet, bertubuh kecil dan kerempeng. Ia pekerja keras dan terlahir sebagai anak petani bukan sebagai bangsawan seperti Nobunaga dan Ieyasu. Tetapi Hideyoshi adalah negosiator ulung dan pandai. Ia bisa membuat orang yang awalnya tidak percaya menjadi luluh dan sepenuhnya mendukung keinginan Hideyoshi. Dalam perjalanan hidupnya ia mengalami beberapa hal yang membuatnya belajar mengenal sifat manusia. Dari seorang yang sederhana, berkat kecerdikan dan ketulusannya Hideyoshi memperoleh kepercayaan dari orang-orang. 

Nobunaga menjawab pertanyaan diatas adalah bunuh burung itu karena menurutnya seekor burung haruslah bisa berkicau namanya juga burung ujarnya, kalau tidak berkicau bukan burung namanya maka bunuh saja! Memang begitulah karakternya. Ieyasu menjawab tunggu, karena siapa tahu burung itu nantinya dapat berkicau tapi kapan waktunya ya sabar tunggu saja sampai bisa berkicau. Beuuh.. kalau anak jaman sekarang bilang capek deh!. Hideyohi menjawab  buat burung itu berkicau, maksudnya adalah ajarin dia, contohin dia, rayu dan pancing burung itu agar berkicau, artinya ada usaha secara persuasif dahulu untuk membantu burung berkicau.

Terlintas dalam pikiran saya di negara kita di Indonesia karakter Prabowo mungkin ya seperti Nobunaga, SBY seperti Ieyasu dan Pak Jokowi adalah Hideyoshi. Betul ngak? He-he, belum tentu benar sih tapi kok ya kira-kira begitulah persepsi saya. Tetapi perlu dicatat bahwa tidak ada yang salah dari ketiga tokoh Jepang dan karakter mereka itu. Memang ada warna atau perbedaan karakter dalam memimpin tetapi mimpinya dan tujuannya sama yaitu sama-sama ingin menyatukan dan membangun agar lebih baik.

Nah, jika kita melihat dalam diri kita sebagai seorang pemimpin atau sebagai atasan yang ditugasi untuk membangun sebuah team dan dihadapkan dengan anggota team yang sulit untuk “berkicau” atau maksudnya tidak sesuai dengan ekspektasi anda, apakah yang akan dilakukan? Akankah anda akan berlaku seperti Nobunaga, Ieyasu atau Hideyoshi? sulit yah untuk jawabnya. Itu semua tergantung anda bagaimana memerankannya tetapi yang penting dan menjadi poin adalah usaha-usaha-usaha, kerja-kerja-kerja dahulu baru kemudian tentukan sikap mau jadi seperti apa.  

Anyhow, jangan lupa berdoa dan tetap semangat yah!

Happy Selling !!